Wednesday, November 22, 2006
KRISTUS MENEBUS KAUM PILIHAN (3)
Banyak orang akan menganggap ajaran penebusan seperti ini asing sekali, dan menghambat penginjilan. Benarkah demikian? Asumsi tersebut sama sekali tidak benar. Sebab, doktrin penebusan Kristus bagi kaum pilihan selaras dengan prinsip-prinsip penafsiran yang bertanggung jawab, dan harmonis dengan doktrin-doktrin yang lain. Dengan memahami doktrin ini, kita justru melihat keselamatan sebagai gambar utuh dari rencana agung keselamatan, bukan penggalan-penggalan ajaran yang dibangun “asal ada ayatnya.”
Sedangkan terhadap penginjilan, Gereja Tuhan di sepanjang zaman meyakini bahwa penginjilan itu niscaya dilakukan! Panggilan untuk memuridkan segala bangsa tetap berlaku (Mat. 28.19–20). Tetapi kita perlu cermat dan berhati-hati! Apakah dibenarkan, demi orang bertobat, kemudian kita mengaburkan pengajaran Kitab Suci yang benar? Tujuan sama sekali tidak menghalalkan segala cara.
Pada tahun-tahun terakhir, begitu maraknya KKR yang dibumbui oleh pernak-pernik humanistis yang sebenarnya melawan kesaksian firman: manipulasi psikologis dengan membangun suasana-suasana mistik, musik-musik syahdu dan menyentuh hati, serta kata-kata yang terus diulang-ulang, “Bayangkan kasih Tuhan kepadamu. Akankah engkau menyia-nyiakan kasih-Nya yang besar? Rasakan kasih-Nya!” Akhirnya, orang-orang pun tergerak untuk maju dan mengambil keputusan, karena perasaannya tersentuh! Semua itu bukan Injil yang sejati. Sebaliknya, justru musuh Injil!
Rasul Paulus mempercayai doktrin penebusan terbatas, tetapi ia pun penginjil yang efektif. Seorang pengkhotbah meyakini penebusan Kristus bagi umat pilihan, ia tidak akan gegabah berkata, “Kristus rela mati untuk setiap orang di gereja ini, bahkan untuk setiap manusia!” atau seorang penginjil kepada orang yang diinjili, “Kristus mati bagi kamu, langkah selanjutnya ada di tanganmu sendiri.” Sebab, bagaimana ia yakin Kristus benar-benar mati untuk orang tersebut? Tidak ada juga preseden penginjilan seperti itu di Alkitab. Para pengkhotbah KKR sekaliber Charles H. Spurgeon (abad ke-19) atau Jonathan Edwards (abad ke-18) tidak pernah mengucapkan kalimat seperti itu dalam khotbah-khotbah mereka!
Lalu, bagaimana seharusnya pengkhotbah KKR memimpin altar call? Hendaklah ia menghindarkan diri dari godaan berapa jumlah hadirin yang mengangkat tangan! Sebagai pelayan firman Allah, ia dilarang untuk memanipulasi pendengar dengan kharisma atau suasana! Hendaklah altar call tidak dilakukan dengan mengulang-ulang panggilan, seolah-olah Allah merengek-rengek supaya orang-orang berdosa bertobat dan menyerahkan diri. Ia cukup berkata, “Kristus datang untuk menebus orang-orang berdosa!” Ya, ini benar! Kristus datang untuk kaum pilihan Allah, dan mereka ini manusia berdosa!
Sesungguhnya, mempercayai penebusan Kristus bagi kaum pilihan Allah justru mendorong penginjilan. Sebutkanlah penginjil-penginjil terbaik dunia, kebanyakan mereka adalah pemeluk ajaran ini (C. H. Spurgeon, G. Whitefield, G. Muller, J. Edwards). Oh, bila semua manusia ternyata telah rusak total—namun jauh sebelum itu Allah sudah berkenan menetapkan siapa saja yang menjadi umat-Nya—maka penginjilan pastilah berhasil! Keselamatan tidak bergantung pada kehendak manusia, tetapi karya Allah dari awal sampai akhir! Bila Allah memiliki rancangan agung, maka Ia tidak pernah gagal. Pekabaran Injil berarti undangan Allah bagi kita untuk mengumpulkan segenap kaum pilihan Allah yang baginya Kristus telah datang dan menyempurnakan karya keselamatan dengan kematian-Nya. Tidak ada lagi panggilan yang lebih mulia!
TERPUJILAH ALLAH!
KRISTUS MENEBUS KAUM PILIHAN (2)
Setelah mengkaji pandangan penebusan dari opsi kedua, kita telah menemukan kesulitan-kesulitan yang sangat fundamental, bahkan kontradiksi-kontradiksi yang tidak terjawab. Adakah opsi ketiga? Ya, ada!
Berita yang konsisten di dalam Alkitab adalah penebusan setiap orang yang ada dalam hitungan kaum pilihan. Kristus menebus tiap-tiap pribadi yang telah dipilih oleh Allah sejak kekekalan untuk menjadi umat-Nya! Pandangan penebusan seperti ini selaras dengan karya Allah Trinitas, dan memandang keselamatan sebagai unit yang utuh. Keselamatan itu dari awal sampai akhir dikerjakan oleh Allah Bapa, Putra dan Roh Kudus.
Injil Yohanes. Injil ini mengaitkan karya Allah Bapa dan Putra. Relasi yang sangat harmonis! Bapa memilih dan menganugerahkan iman kepada sejumlah manusia dan mengantarnya kepada Kristus untuk diselamatkan. Tuhan Yesus berkata, “Semua yang diberikan Bapa kepada-Ku akan datang kepada-Ku, dan barangsiapa datang kepada-Ku, ia tidak akan kubuang” (6.37, bdk. 65). Lebih lanjut, “. . . dari semua yang telah diberikan-Nya kepada-Ku jangan ada yang hilang, tetapi supaya Kubangkitkan pada akhir zaman” (ay. 39, bdk. 44). Makin jelas lagi objek sasaran penebusan Kristus di dalam 10.11, “Gembala yang baik memberikan nyawa-Nya bagi domba-domba-Nya,” dan perhatikan juga ayat 15, “Aku memberikan nyawa-Ku bagi domba-domba-Ku.” Kesimpulannya, Tuhan Yesuslah Gembala yang baik dan Dia memberikan nyawa-Nya untuk domba-domba-Nya.
Bagaimana dengan ayat 16? “Ada lagi pada-Ku domba-domba lain . . . itu harus Kutuntun juga dan mereka akan mendengarkan suara-Ku dan mereka akan menjadi satu kawanan dengan satu gembala.” Ada sejumlah orang yang belum percaya dan belum mengenal persekutuan Kristen, tetapi mereka akan dituntun (!) untuk mendengar-kan firman Kristus, sehingga menjadi satu kawanan dengan domba-domba Kristus. Dalam 10.26, 27 ada golongan orang yang tidak percaya oleh karena “tidak termasuk domba-domba-Ku.” Yang termasuk domba Kristus akan percaya! Yang tidak termasuk takkan percaya! Penebusan Kristus mendahului iman! Justru inilah dasar mengapa penginjilan niscaya dilakukan! Penginjilan itu berarti mencari dan mengumpulkan domba-domba yang dituntun oleh Kristus, yang sementara ini belum menjadi satu dengan persekutuan orang percaya, namun yang bagi mereka Kristus juga telah menyerahkan diri-Nya.
Kisah Para Rasul 20.28. Kepada para penatua di Efesus, rasul Paulus berkata, “Karena itu jagalah dirimu dan jagalah seluruh kawanan, karena kamulah yang ditetapkan Roh Kudus menjadi penilik untuk menggembalakan jemaat Allah yang diperoleh-Nya dengan darah Anak-Nya sendiri.” Rasul Paulus menegaskan apa itu gereja, yaitu kepunyaan Allah yang diperoleh dengan darah Anak-Nya, dengan perkataan lain, umat Allah ditebus melalui kematian Kristus.
Surat-surat Paulus. Rasul Paulus juga jelas berkata, kaum yang dipilih oleh Allah, itulah yang ditebus oleh Kristus. “Sebab di dalam Dia dan oleh darah-Nya, kita [yang dipilih dan ditentukan untuk menjadi anak-anak-Nya] beroleh penebusan” (Ef. 1.7). Konteks dari perikop 1.3–14 menegaskan harmoni karya Trinitaris yang demikian agung! Allah Bapa memilih, Allah Putra menebus, dan pada gilirannya di ayat 13–14, Allah Roh Kudus memeteraikan umat Allah dan menjadi jaminan kaum beriman. Senada dengan ini, Roma 8.30 menyatakan, “Dan mereka yang ditentukan-Nya dari semula, mereka itu juga dipanggil-Nya. Dan mereka yang dipanggil-Nya, mereka itu juga dibenarkan-Nya. Dan mereka yang dibenarkan-Nya, mereka itu juga dimuliakan-Nya.”
Menarik juga untuk mengkaji Efesus 5.25–26, “Hai, suami, kasihilah istrimu sebagaimana Kristus telah mengasihi jemaat dan telah menyerahkan diri-Nya baginya untuk menguduskannya, sesudah Ia menyucikannya dengan memandikan-nya dengan air dan firman.” Perhatikan, umat yang bagi mereka Kristus telah mati, mereka juga yang dikuduskan dan dibasuh. Sebaliknya, karena dunia nyata-nyata tidak dikuduskan dan dibasuh, maka jelaslah bahwa Kristus tidak mati bagi semua isi dunia tanpa terkecuali.
Bila betul Kristus mengasihi seluruh isi dunia dengan kasih yang sejajar, dan memberikan hidup-Nya untuk dunia, maka paralel di dalam ayat ini runtuh. Ayat ini berbicara tentang relasi suami-istri, diparalelkan dengan relasi Kristus-Gereja. Seorang suami ya juga harus mengasihi dan memberikan dirinya untuk perempuan lain selain istrinya, kan sama seperti Kristus juga memberikan hidup-Nya untuk orang-orang di luar Gereja-Nya, yang adalah mempelai perempuan-Nya!
Surat Ibrani. Kutipan dari Yesaya 8.18 di Ibrani 2.13 ini menyatakan solidaritas Sang Putra terhadap anak-anak Allah yang lainnya. Tujuan dikutipnya ayat ini ialah supaya tiap-tiap orang percaya meyakini status mereka yang terhormat sebagai saudara-saudara Kristus dan anak-anak Allah. Kehormatan ini didapatkan karena keterhubungan mereka dengan Kristus (1.1–14 dan 2.5–9). Lebih-lebih dalam 2.14–15, kita melihat bahwa Kristus memusnahkan Iblis dan membebaskan kaum-Nya dari perhambaan Iblis. Bahkan pada pasal-pasal berikutnya di dalam Ibrani, Kristus merupakan Imam Besar yang mempersembahkan diri-Nya sebagai kurban untuk menanggung dosa banyak orang (9.28). Siapakah banyak orang itu? Tak lain adalah “anak-anak yang diberikan Allah kepada-Ku,” kata Tuhan Yesus.
Kesimpulan. PB telah sedemikian jelas bersaksi tentang harmoni karya Trinitas dan siapa saja yang ditebus melalui kematian Kristus. Mereka ini kaum pilihan yang diserahkan Allah Bapa kepada Tuhan Yesus:
Umat-Nya Matius 1.21
Domba-bomba-Nya Yohanes 10.11, 14
Jemaat-Nya Kisah Para Rasul 20.28; Efesus 5.25
Orang-orang pilihan Roma 8.32–34; Efesus 1.7
Anak-anak-Nya Ibrani 2.13
Lantas, bagaimana kita harus memahami ayat-ayat yang “universalis” seperti di bawah ini?
Yehezkiel 33.11. Siapa yang disebut orang fasik? Konteksnya jelas, yaitu orang Israel. Dengan demikian, ayat ini tidak berbicara tentang hasrat Allah untuk memanggil kembali segenap manusia tanpa ada yang tertinggal. Bila dalam 2 Petrus 3.9 nada yang sama digemakan, jangan lupa anak kalimat sebelumnya, “Ia sabar terhadap kamu,” yang jelas-jelas merujuk kepada penerima Surat 2 Petrus ini. Jadi, ayat-ayat ini ditujukan untuk umat Allah sendiri.
2 Korintus 5.14–15. Ada kata yang sama, yaitu “semua.” Semua orang telah mati dalam Adam, dan “Kristus telah mati untuk semua orang.” Baca juga 1 Korintus 15.22, “karena sama seperti semua orang mati dalam persekutuan dengan Adam, demikian pula semua orang akan dihidupkan kembali dalam persekutuan dengan Kristus.” Bila kata “semua” ini berarti setiap manusia tanpa terkecuali, maka neraka sudah purna tugas. Sebab semua orang yang mati di dalam Adam, yakni setiap manusia yang menjadi keturunan Adam, telah dihidupkan dengan kematian Kristus. Setujukah Anda?
Apa arti “semua”? Ketika Alkitab memakai kata ini, tak selalu artinya “setiap.” Misalnya, ketika Tuhan Yesus ditinggikan dari bumi, Ia akan “menarik semua orang datang kepada-Ku” (Yoh. 12.32), apakah setiap orang datang kepada Kristus? Pontius Pilatus, Hanas, Kayafas nyatanya tidak. Bahkan jutaan orang di seluruh dunia tidak mendengar Kristus, bagaimana mungkin mereka datang kepada Kristus? (Bdk. juga “semua orang di seluruh dunia” di Luk. 2.1.) Semua ternyata tidak berarti setiap. Yang dapat kita simpulkan dari kata “semua” adalah: kaum pilihan Allah yang berasal dari segala suku dan bangsa atau pangkat dan derajat, tanpa diberi preferensi-preferensi khusus (bdk. Why. 5.9–10; 7.9).
2 Korintus 5.14–15 harus ditempatkan dalam konteks yang tepat. Yang dimaksud dengan “semua” diterangkan oleh ay. 18, “Kristus telah mendamaikan kita,” dan ay. 21 “Dia . . . menjadi dosa karena kita, supaya di dalam Dia kita dibenarkan oleh Allah.” Siapa yang dimaksud “kita”? Paulus dan tim PI-nya beserta segenap jemaat Korintus, yang telah percaya kepada Tuhan Yesus dan diperdamaikan dengan Allah melalui darah Putra-Nya. Kita dapat menyimpulkan, Kristus mati untuk umat-Nya.
Yohanes 4.42. Sebelum menjawab masalah, periksalah kembali kajian Injil Yohanes di atas. Gembala yang baik memberikan nyawa-Nya bagi domba-domba-Nya.” Jadi, Kristus mati dan bangkit untuk menebus umat-Nya. Lantas, apa artinya “dunia” di ayat ini (mis. juga 3.16)? Bukan tiap-tiap individu, tetapi sama seperti di atas, yaitu segala suku dan bangsa, dari segala derajat dan pangkat dan jenis kelamin.
1 Timotius. Di 1.15 dituliskan kata “dunia” dan “orang berdosa.” Tetapi, perhatikan tuturan sang rasul selanjutnya, “dan di antara mereka akulah yang paling berdosa.” Siapakah “mereka” itu? Di ayat 16, mereka ini adalah orang-orang “yang kemudian percaya kepada-Nya dan mendapat hidup yang kekal.” Paulus menyebut dirinya adalah yang paling berdosa bila dibandingkan dengan semua orang berdosa yang kemudian mendapat hidup yang kekal, yaitu orang-orang Kristen. Jadi, yang dimaksud “orang berdosa” bukanlah semua orang tanpa terkecuali, tetapi para pengikut Kristus.
Ayat 2.3, “semua [setiap] orang diselamatkan . . .” dan ayat 6 “yang telah menyerahkan diri-Nya sebagai tebusan bagi semua [pantōn]” seolah-olah menyiratkan keselamatan universal. Baiklah, memang bisa diterjemahkan “semua manusia.” Tetapi perhatikan konteks-nya. (1) Rasul mengimbau jemaat untuk mendoakan semua orang, termasuk raja-raja dan para pembesar—orang-orang dari berbagai tingkat sosial (ay. 1–2); (2) Rasul sendiri mengatakan dirinya sebagai pemberita Injil dan rasul untuk orang-orang bukan Yahudi—orang-orang dari etnis yang berbeda (ay. 7). Jelaslah kini maksud rasul. Bukan penebusan untuk setiap manusia tanpa terkecuali, tetapi jangkauan keanggotaan Gereja Kristus, yang meruntuhkan tembok-tembok perbedaan yang tidak mungkin dapat diubah. Visi Gereja sebagai pelopor Kerajaan Allah seharusnya bermisikan persaudaraan, kesetaraan dan egalitarian.
1 Yohanes 2.2. Hal ini menggarisbawahi pemulihan dunia yang dimulai dari pemulihan umat Allah. Bahasa penulis 1 Yohanes sangatlah Yahudi. Karena Israel telah dipulihkan—ditandai dengan kehadiran Gereja di dalam dunia—maka prinsip dunia baru yang dipimpin oleh Kristus pun telah hadir di atas bumi. Perhatikan 4.10, “Allah yang telah mengasihi kita dan yang telah meng-utus Anak-Nya sebagai pendamaian bagi dosa-dosa kita.” “Kita” di sini adalah orang-orang yang dosa-dosanya sudah diampuni (2.12), yang telah mengalah-kan yang jahat (2.13), dan yang menanti-nantikan Kristus (3.2).
KRISTUS MENEBUS KAUM PILIHAN (1)
KRISTUS MENEBUS KAUM PILIHAN ALLAH
Pertimbangan Awal
Kita percaya bahwa Tuhan Yesus Kristus menebus orang-orang berdosa dan memberikan jaminan keselamatan. “Kristus Yesus datang ke dunia untuk menyelamatkan orang berdosa” (1Tim. 1.15). Tetapi, siapa sajakah orang-orang berdosa yang ditebus oleh Tuhan Yesus itu? Jawaban yang sering kita dengar adalah “setiap manusia tanpa terkecuali.” Beberapa data Alkitab yang tersebar di sana-sini untuk mendukung pandangan ini adalah sebagai berikut:
Yehezkiel 33.11, “. . . Aku tidak berkenan kepada kematian orang fasik, melainkan Aku berkenan kepada pertobatan orang fasik itu dari kelakuannya . . . .”
Yohanes 4.42, “. . . Dialah benar-benar Juruselamat dunia.”
2 Korintus 5.14–15, “. . . bahwa satu orang sudah mati untuk semua orang maka mereka semua sudah mati . . . Kristus telah mati untuk semua orang.”
1 Timotius 2.3–6, “. . . Allah, Juruselamat kita, yang menghendaki supaya semua orang diselamatkan . . . yaitu manusia Yesus Kristus yang telah menyerahkan diri-Nya sebagai tebusan bagi semua manusia . . . .”
2 Petrus 3.9, “. . . Ia menghendaki supaya jangan ada yang binasa, melainkan supaya semua orang berbalik dan bertobat.”
1 Yohanes 2.2, “Dan Ia adalah pendamaian untuk segala dosa kita, dan bukan untuk dosa kita saja, tetapi juga untuk dosa seluruh dunia.”
Banyak orang segera menyimpulkan penebusan Kristus itu universal sifatnya, bagi tiap-tiap pribadi. Namun demikian, data di atas masih menyimpan dua macam opsi yang harus kita pecahkan.
Opsi pertama. Apakah Kristus mati untuk setiap manusia tanpa terkecuali sehingga setiap manusia pasti diselamatkan? Penebusan Kristus itu universal dan karena itu tidak ada seorang pun yang tidak selamat. Pandangan ini sebenarnya konsisten dalam kaidah bernalar:
Semua orang ditebus oleh kematian Kristus,
Kematian Kristus memberi keselamatan,
Maka, semua orang menerima keselamatan.
Hanya saja, apa ajaran ini benar? Alkitab terlampau blak-blakan tatkala membahas realitas neraka dan penghuni-penghuninya. Mempercayai pengajaran seperti ini akan berisiko menerjang pengajaran Alkitab mengenai dosa dan adanya orang-orang yang dimurkai oleh Allah. Pandangan “universalisme” ini biasanya dianut oleh kaum liberal.
Opsi kedua. Apakah Kristus mati untuk setiap manusia tanpa terkecuali tetapi tidak semua mendapatkan keselamatan karena tidak mau percaya Allah? Keselamatan Kristus itu universal, tetapi hanya beberapa orang—yang mau merespons karya penebusan Kristus dengan kehendak pribadinya—yang diselamatkan, yang lain akan dihukum. Pandangan kedua ini diikuti oleh mayoritas orang Kristen, paling tidak di Indonesia.
Sepintas lalu, opsi yang kedua itu nampak alkitabiah, sebab mencantumkan banyak ayat. Namun marilah mengamati konsistensi logika pandangan ini:
Semua orang ditebus oleh kematian Kristus,
Kematian Kristus memberi keselamatan,
Maka, hanya sebagian orang menerima keselamatan.
Logika yang aneh! Pertanyaan penting yang perlu diajukan selanjutnya adalah, apakah Kristus juga menebus orang-orang yang hingga matinya menolak Kristus? Karena itu, marilah kita sekarang meneliti kekonsistenan opsi kedua itu dengan lebih cermat.
Menakar Konsistensi Ajaran
1. Penebusan Kristus dan Rencana Agung Allah (Telaah Filosofis)
a. Jika kita percaya bahwa Allah pirsa saderengipun winarah, bahkan ketetapan-Nya sabda pandhita ratu, tentu kita sepakat bahwa Allah sudah mengetahui siapa yang akan menjadi milik-Nya. Bahkan Alkitab sendiri bersaksi bahwa Allah, dalam kedaulatan-Nya, telah memilih sejumlah manusia untuk menjadi umat-Nya sejak kekekalan (Ef. 1.4–5). Betapa inkonsisten bila Allah—yang sudah paham siapa saja yang menjadi milik-Nya—kemudian mengutus Kristus untuk menebus semua manusia tanpa terkecuali, termasuk orang-orang yang bukan kaum pilihan-Nya. Lebih-lebih kalau kita mau jujur, tidak ada satu ayat pun yang berkata secara langsung bahwa “Kristus mati untuk setiap manusia.”
b. Pengajaran opsi kedua ini akan konsisten hanya jika kita percaya bahwa Allah tidak memiliki rancangan keselamatan, serta tidak tahu ujung sejarah ciptaan. Kristus datang untuk menebus setiap manusia tanpa terkecuali, tetapi ada sejumlah kecil orang yang kemudian mau menerima-Nya, sehingga ndilalah jumlah umat Allah bertambah “di luar ketetapan Allah,” oleh sebab kehendak untuk memilih Kristus dan karya-Nya.[1]
c. Opsi kedua berniat untuk “meluputkan Allah” dari tanggung jawab bila manusia menolak karya Kristus. Tetapi sebaliknya, risiko berat yang harus dihadapi oleh pengajaran ini adalah: Allah sendiri tidak memiliki jaminan pasti siapa-siapa saja yang akan percaya kepada-Nya! Kalaupun Allah tahu, Ia tak berdaya, karena semua berdasarkan kehendak manusia! Bagaimana dengan jaminan keselamatan? O memang betul, para pen-dahulu kita setia dalam iman hingga akhir hidup mereka! Tapi, bagaimana dengan orang-orang yang hidup sekarang? Bagaimana dengan keselamatan kita? Bukankah ada kemungkinan kita pada akhirnya menolak karya Kristus? Sejangka waktu, di hadapan orang banyak, memang kita bisa tampak percaya, aktif, menjadi pengurus komisi bahkan majelis, tetapi siapa yang menjamin kalau seminggu, sebulan, atau setahun mendatang kita semua akan tetap setia? Bahkan Tuhan pun tidak! Bila demikian, maka pengajaran ini sesungguhnya mendiskreditkan Allah.
2. Penebusan Kristus dan Jaminan (Telaah Teologis)
a. Apakah arti Kristus sebagai “Juruselamat”? Yaitu keselamatan hanya tersedia di dalam Tuhan Yesus. Sekarang, pertanyaan balik yang perlu diajukan yakni, apakah keselamatan sebagai buah penebusan Kristus itu suatu kemungkinan ataukah kepastian? Yang dimaksud dengan kemungkinan berarti, “penebusan Kristus hendak mengerjakan keselamatan orang ber-dosa, tergantung seseorang mau atau tidak diselamatkan; Tuhan tidak dapat memaksanya.” Sedangkan kepastian berarti, “penebusan Kristus pasti mengerjakan keselamatan untuk manusia berdosa.” Kita tentu percaya bahwa penebusan itu efektif dan pasti. Perhatikan selanjutnya.
b. Setiap orang Kristen percaya bahwa hakikat kematian Kristus adalah “substitusi,” (penggantian) kurban bagi penebusan dosa. Kristus menggantikan kita, orang-orang berdosa, dari murka Allah yang menyala-nyala, sehingga kita diampuni oleh Allah:
“Dia yang tidak mengenal dosa telah dibuat-Nya menjadi dosa karena kita, supaya di dalam Dia kita dibenarkan oleh Allah” (2Kor. 5.21).
“Substitusi” ini meliputi empat aspek:
(i) “propisiasi,” meredakan atau meredam murka Allah yang kudus (Ibr. 2.17; 1Yoh. 2.2);
(ii) “expiasi,” menghapuskan dosa (Rm. 3.25);
(iii) “rekonsiliasi,” pendamaian manusia dan Allah (Rm. 5.10; 2Kor. 5.20);
(iv) “redempsi,” penebusan dari kutuk Hukum Taurat (Gal. 3.13; Kol. 1.14).
c. Jika Kristus benar-benar datang untuk menebus setiap orang tanpa terkecuali, dan penebusan Kristus itu efektif, berarti Kristus pasti menggantikan setiap orang tanpa terke-cuali. Bila ini benar, maka seharusnya setiap orang tidak lagi menanggung murka dan kutuk Allah, sebab Kristus telah menanggung murka Allah itu sebagai ganti setiap manusia tanpa terkecuali. Maka, setiap manusia pastilah diselamatkan oleh Allah, atau penebusan Kristus tidak memiliki daya apa-apa atas manusia yang dikuasai oleh dosa. (Awas!! Ingat bahaya opsi pertama di depan!) Tetapi kenyataannya, ada orang-orang yang menerima penghukuman dari Allah! Kalau Kristus menebus semua orang, mengapa mereka ini masih dihukum oleh Allah?
d. Marilah kita juga merenung: Apakah Kristus datang untuk menggantikan penghukuman orang yang menolak Kristus sehingga ia tak lagi berada di bawah murka Allah? Apakah Kristus menebus dan meredam murka Allah demi orang yang menolak Dia? Apakah Tuhan Yesus mati menghapuskan dosa-dosa orang yang menolak-Nya? Apakah Tuhan Yesus mendamaikan orang yang menolak Kristus dengan Allah sehingga tak ada lagi perseteruan antara orang itu dengan Allah?
e. Semoga kita tidak melakukan lompatan logika, dengan berkata, “Sebenarnya Yesus [mau] mati untuk orang itu, tetapi dia sendiri yang menolak Kristus!” Sebab kita akan terbentur kembali dengan kesimpulan, bahwa kematian Kristus tidak memberi kepastian, tetapi sekadar kemungkinan: Insyaallah, bila orang itu mau percaya! Sungguh posisi yang tidak konsisten!
3. Penebusan Kristus dan Sejarah Penebusan (Telaah Biblis)
a. Sesungguhnya, Alkitab jelas-jelas bersaksi bahwa Kristus menebus kaum pilihan Allah. Suatu karya penebusan terhadap sejumlah umat yang definitif.
b. Bila Kekristenan konsisten dengan berita Perjanjian Lama (PL), maka penebusan Kristus harus ditempatkan dalam matra “sejarah penebusan” dan berita eskatologis PL. PL berbicara mengenai pengharapan kosmos, alam raya ciptaan Allah, dan hal ini baru dapat terlaksana bila umat Allah dipulihkan. Tatkala Mesias hadir, Ia datang untuk memulihkan Israel, umat Allah, dan pemulihan umat Allah inilah yang akan meretas jalan pemulihan kosmos (Yes. 55).
c. Kalau demikian, Yesus dari Nasaret layak disebut Mesias bila Ia memenuhi tugas panggilan-Nya sebagai pemulih Israel. Ternyata berita yang disampaikan kepada Yusuf mengenai Anak yang akan dilahirkan oleh Maria yakni, “Dialah yang akan menyelamatkan umat-Nya dari dosa mereka” (Mat. 1.21). Aha! Bukan menyelamatkan semua manusia tanpa terkecuali! Tetapi berita mengenai “penebusan terbatas”! Mindset (pola pikir) penulis Injil sangat dipengaruhi oleh berita PL, bahwa keselamatan atas bangsa-bangsa bisa terlaksana hanya bila Mesias yang sejati datang dan menebus umat Allah dan menancapkan prinsip Kerajaan Allah di atas dunia. Jelaslah kini, bahwa penebusan Kristus untuk setiap orang tanpa terkecuali menghadapi kendala terasing dari kesinambungan berita penebusan di PL.
4. Penebusan Kristus dan Pekabaran Injil (Telaah Praktis)
a. Banyak orang Kristen beranggapan, penebusan bagi semua orang tanpa terkecuali akan mendorong semangat penginjilan. Sebab, bagaimana mungkin kita akan menginjili orang yang tidak percaya bila Kristus tidak datang dan menebusnya? Maka, Kristus haruslah terlebih dahulu menebus setiap manusia ketika ia masih ada di dalam dosa. Sehingga, kita mengajukan tantangan dengan berkata, “Tuhan Yesus mati untuk kamu,” oleh kehendak bebas pribadi ia akan menanggapi karya Kristus secara positif, menerima, atau negatif, menolak Kristus dan karya-Nya.
b. Tetapi marilah kita menimbang dengan serius. Kalau Kristus mati untuk semua orang, dan iman itu berdasarkan pilihan bebas dari manusia—dan orang beranggapan hal ini akan melancarkan penginjilan—adakah jaminan kelak Tuhan Yesus akan menjumpai seseorang beriman di dalam dunia ketika Ia datang kembali? Keselamatan berdasarkan kehendak bebas tidak memberi jaminan yang pasti! Jangan-jangan semua orang yang sekarang ini berkobar-kobar dalam melayani Tuhan, menjadi majelis dan aktivis, ternyata kemudian berbalik dan melawan Tuhan!
c. Cobalah merenung. Kita menggebu-gebu dalam melayani banyak orang supaya mereka bertobat, dan kita berhasil memenangkan mereka! Tetapi suatu saat kita menjumpai semua orang yang kita layani berbalik dan tidak percaya lagi kepada Tuhan, apa yang kita ungkapkan? “Yaah, saya serahkan sajalah kepada Tuhan!” Bukankah ini kontradiktif? Lho, lho, lho, katanya kepercayaan itu berdasarkan pilihan bebas, tetapi ketika orang-orang hasil dari penginjilan kita murtad, maka tanggung jawabnya kok dilemparkan kepada Tuhan? Harus diakui, ajaran penebusan bagi semua orang tanpa terkecuali malah membuat pesimis penginjilan!
[1]Di sinilah beberapa teolog open theism, “teisme terbuka,” seperti William Hasker dan Clark Pinnock menganjurkan ide middle knowledge, “pengetahuan tengah,” yaitu bahwa Allah hanya merancang penebusan dan keselamatan manusia seluruhnya, tetapi ada peristiwa lain yang menyusup dan terjadi, yakni dosa yang mengakibatkan “pergeseran” rencana Allah itu. Kristus datang menebus semua orang tanpa terkecuali, tetapi ada sebagian orang yang mau “menerima” rencana Allah dengan kehendaknya, tetapi ada juga yang menolak. Penolakan dan penerimaan ini pun termasuk kejadian yang menyusup. Jadi, Allah menerima suatu “kejutan baru.”
Saturday, November 11, 2006
Selayang Pandang Reformasi
SELAYANG PANDANG REFORMASI
PENDAHULUAN
Reformasi tidak hanya melandasi gerak dan semangat saya sebagai seorang Kristen, tetapi juga bagian penting yang mengisi akal budi dan pemahaman saya mengenai Allah, Firman Tuhan dan alam semesta. Reformasi membuat saya sadar, bahwa fungsi akal budi dalam mengikut Tuhan tidak boleh diabaikan, tetapi justru semakin dipertajam.
Mengapa belajar sejarah? Bagi sebagian orang, sejarah hanyalah kenangan indah di masa lalu, memori kejayaan-kejayaan yang membuat orang malas berubah. Sebagian orang lagi menganggap sejarah hanyalah dongeng kosong yang tidak relevan untuk hari ini. Meskipun demikian sejarah sebenarnya tidak pernah menjadi usang. Argumen di atas sah hanya bagi sebagian orang. Betapa penting kita menilik sejarah agar kita dapat mengevaluasi kesalahan-kesalahan para pendahulu kita. Sejarah membuat kita semakin kritis dan berpikir tajam. Autentisitas masa kini akan semakin utuh tatkala kita berani melakukan evaluasi terhadap sejarah.
Mengapa Hari Reformasi? Sejarah Reformasi tidak sekadar kisah kejayaan. Di balik itu, tragedi juga terjadi. Bagaimanapun juga, Reformasi merupakan sebuah titik balik krusial dalam sejarah manusia yang memiliki dampak sampai masa kini. Tanpa Reformasi, takkan pernah ada kritik yang membuat gereja berpikir ulang mengenai praktik dan pengajaran. Tanpa Reformasi, pengajaran akan terhisap pada otoritas klerus sebagai ecclesia docens. Tanpa Reformasi, Kristus yang bangkit dan menang tidak akan pernah diberitakan secara murni. Kita akan mengamati tiga tokoh penting, yaitu Martin Luther (1483-1546), Huldrych Zwingli (1484-1531) dan Yohanes Calvin (1509-1564).
REFORMASI LUTHER
Luther belajar di Universitas Erfurt untuk bidang seni, sebelum mendapat pendidikan teologi di sebuah biara Agustinian di sana. Kemudian ia mendapatkan posisi sebagai profesor di Universitas Wittenberg untuk mata kuliah Mazmur, Roma, Galatia dan Ibrani. Pada masa-masa profesoratnya inilah teologi Luther berkembang, khususnya mengenai doktrin pembenaran. Doktrin inilah yang kemudian menjadi pusat teologinya. Mengapa doktrin pembenaran? Hal ini bermula dari pergumulan pribadi Luther mengenai keselamatan dirinya. Sampai akhirnya Luther menemukan bahwa manusia dapat selamat hanya apabila ia dibenarkan oleh Allah melalui iman kepada Yesus Kristus.
Gerakan reformasi Luther memfokuskan diri dengan pembaruan isi pendidikan teologi di Universitas Wittenberg. Hanya saja, selama Luther menjabat sebagai profesor, gerakan ini tidak mendapat dukungan dari banyak pihak. Hanya kemudian, aktivitas pribadi Luther yang menancapkan sembilan puluh lima tesis di pintu gereja Wittenberg dapat menarik perhatian banyak orang. Tesis-tesis tersebut merupakan gugatan mengenai praktik penjualan indulgensia yang dipakai untuk mengumpulkan uang bagi pembangunan ulang basilika St. Petrus di Vatican. Surat ini sering disalah mengerti sebagai sarana yang disahkan oleh gereja untuk mendapatkan keselamatan dari Allah dengan segera. Padahal, dasar dari penjualan surat ini ialah rasa syukur orang-orang berdosa bagi pengampunan dosa. Sekali orang berdosa dijamin bahwa dosanya sudah dihapus oleh gereja, yang bertindak atas nama Kristus, secara otomatis mereka mempersembahkan uang secara ikhlas dan tulus. Pelan-pelan, pemberian uang bagi upaya welas asih dan untuk mengisi kas gereja ini dipandang identik dengan penghargaan dari pengampunan tersebut. Patut dicatat di sini, persembahan ini adalah akibat dari pengampunan, bukan penyebab untuk mendapatkan pengampunan itu.
Pada zaman Luther, nampaknya telah terjadi kesimpangsiuran pandangan. Orang-orang percaya bahwa indulgensia ini merupakan cara yang cepat dan tepat untuk mendapatkan pengampunan tersebut. Karena itu, Luther protes. Pengampunan merupakan suatu keadaan berubahnya hubungan antara seorang berdosa dan Allah, bukan masalah spekulasi uang. Pengampunan oleh anugerah Allah dikacaukan dengan membeli kemurahan Allah.
Sebenarnya, gerakan Luther mulai efektif sehabis ia menjalani masa pengasingan di Wartburg. Pada tahun 1521, ia dikecam oleh Diet dari Worms sebagai pengajar “doktrin yang salah.” Di dalam perdebatan dengan Diet dari Worms inilah Luther mencetuskan satu kalimat agung, “Here I stand, I can do nothing. Lord, help me!” Selama setahun, ia mengasingkan diri di Wartburg. Pada tahun 1522, Luther merasa perlu kembali ke Wittenberg dan memimpin reformasi di sana. Ia kini tidak hanya menjadi pemikir akademis, ia terjun sebagai pemimpin keagamaan, sosial dan masyarakat.
Apa yang kita lihat dari reformasi Luther? (1) reformasi intelektual; (2) reformasi doktrin; (3) reformasi komitmen; (4) reformasi sosial dan masyarakat.
HULDRYCH ZWINGLI
Belajar di Universitas Wina dan Basel sebelum memangku jabatan pastoral di Swiss bagian selatan. Gerakan Zwingli sebenarnya dimulai sebagai gerakan humanis. Ia sangat dipengaruhi oleh Desiderius Erasmus. Tahun 1519 ia pindah ke Zurich dan melalui mimbar ia menyerukan perlunya reformasi. Semula, reformasinya berpusat pada perubahan kehidupan moral gereja. Kemudian, arah gerakannya meluas sampai kepada perombakan doktrin mengenai gereja, sakramen dan ibadah.
Zwingli lebih liberal ketimbang Luther. Bila Luther masih meneruskan beberapa tradisi dari Katolik Roma, Zwingli meninggalkannya sama sekali. Zwingli adalah penganjur utama iconoclasm, “pemusnahan benda-benda seni di dalam gedung gereja.” Ia tidak tertarik untuk mengkaji satu doktrin sebagai titik tolak pandangannya, tetapi lebih cenderung menyerukan perubahan institusional, sosial dan etik.
Kita mengamati beberapa hal dari reformasi Zwingli: (1) reformasi etik-moral; (2) reformasi ibadah dan sakramen; (3) reformasi doktrin gereja.
YOHANES CALVIN
Menempuh studi di Paris dan Orleans–di mana ia belajar hukum kemasyarakatan. Calvin memandang perlu adanya sebuah buku pegangan yang ditulis secara jelas mengenai ide mendasar dari teologi Injili, berdasarkan Alkitab dan mempertahankan serangan dari Katolik Roma. Pada tahun 1536 ia menerbitkan edisi perdana Institute of the Christian Religion, dengan enam bab. Sampai pada akhirnya, edisi 1559 terbit dengan delapan puluh bab yang dibagi menjadi empat buku. Hal yang terutama dari teologi Calvin adalah bahwa seluruh sistem teologi harus setia kepada Alkitab dan kejelasan dari pemaparan isinya.
Calvin harus meninggalkan Geneva pada tahun 1538 karena diusir oleh dewan kota. Ia menuju Strasbourg dan menjadi pendeta jemaat yang berbahasa Perancis di sana. Di sanalah edisi revisi Institute terbit (1539) dan edisi berbahasa Perancis (1541). Bersahabat dengan Martin Bucer, sang reformator Strassbourg, Calvin mampu mengembangkan ide mengenai hubungan antara kota dan gereja. Dengan demikian, Calvin tidak hanya bergerak dalam dunia intelektual.
Oleh karena kondisi Geneva yang semakin kacau, pada September 1541, Calvin diundang kembali ke Geneva untuk memulihkan tatanan dan kepercayaan rakyat di sana. Masa ini menjadi awal reformasi terbuka Calvin untuk mewujudkan idenya mengenai gereja dan kota, dengan cara menjadikan pemerintahan gereja sebagai model pemerintahan kota. Hal ini tercermin dalam tulisan-tulisannya yang terkemudian. Gerakan Calvin dikenal sebagai “Reformed” atau “Calvinisme.”
Beberapa poin penting Reformasi Calvin: (1) reformasi doktrin berdasar Alkitab; (2) reformasi gereja; (3) reformasi kota.
KESIMPULAN
Reformasi Protestan berhasil membuat gereja Roma Katolik tergugah. Kontra Reformasi yang dirancang khusus sebagai canon untuk melawan Reformasi Protestan harus diakui merupakan dampak dari gerakan Reformasi. Tanpa Reformasi, maka Katolik Roma nampaknya tidak akan pernah membarui dirinya dari dalam.
Tetapi hal yang sangat penting untuk kita pelajari ialah, bahwa Reformasi juga merupakan rediscovery of the true doctrine based on the teaching of the Holy Scripture. Atau singkatnya, the Gospel rediscovered! Sehingga, doktrin apa pun yang tidak sesuai dengan Alkitab harus ditolak. Tetapi kita pun harus sadar, kebenaran yang ditemukan ulang tersebut bukan hanyak kebenaran-ku pribadi. Kebenaran itu tertular ke orang lain, dan membawa dampak ke masyarakat luas. The rediscoverd truth will give impacts to society. Marilah kita bertanya, apakah selama kita beriman kepada Tuhan, orang lain sungguh merasakan dampak dari kehadiran kita sebagai orang Kristen? Here I stand, I can do nothing. Lord help me.
Selamat memperingarti Hari Reformasi ke-489!
TERPUJILAH ALLAH!
Referensi:
MacGrath, Alister E. Christian Theology: An Introduction. Edisi ketiga. Oxford: Blackwell, 2001.
--------. Historical Theology. Oxford: Blackwell, 1998.
McNeill, John T. “Lutheranism, Luther.” Hal. 342-4 dalam The Westminster Dictionary of Christian Theology. Ed. A. Richardson & J. Bowden. Philadelphia: Westminster, 1983.
--------. “Reformation, Reformation Theology.” Hal. 488-90 dalam Ibid.
Mennonitika Selayang Pandang (2)
Teologi Para Reformator dan Kaum Anabaptis
I. PENDAHULUAN
A. Kita harus selalu ingat, gerakan Anabaptis muncul dalam era Reformasi. Sebab itu, adanya gerakan Anabaptis juga banyak didorong oleh gerakan Reformasi yang mendahuluinya. Gerakan Anabaptis memilih untuk bertindak lebih jauh daripada yang dilakukan oleh para reformator, dengan keyakinan bahwa pembaruan gereja harus dilakukan dengan kepatuhan total dan radikal kepada Kristus.
B. Kontribusi gerakan Anabaptis cukup signifikan dalam masa reformasi, yaitu menyentakkan gereja Tuhan bahwa gereja hendaknya tidak berkompromi dengan dunia. Gereja harus terpisah dari pemerintah sekular. Dalam pada itu, gerakan Anabaptis juga berterima kasih kepada Reformasi, sebab bila tidak ada Reformasi maka hingga saat ini kaum Anabaptis bisa jadi dianggap sebagai bidat. Jadi ada hubungan timbal balik di sini, bahwa dengan adanya reformasi, gerakan Anabaptis diterima sebagai salah satu gerakan pembaruan gereja.
C. Di satu sisi, kita melihat adanya keterhubungan teologi Anabaptis dengan teologi para reformator, khususnya dalam pokok-pokok keyakinan ekumenis: Trinitas, keilahian Kristus, otoritas Alkitab, keilahian Roh Kudus, kelahiran baru. Anabaptisme juga menerima pembenaran oleh iman. Namun demikian, kita pun menyadari bahwa di antara kedua kelompok ini terdapat perbedaan yang sangat menyolok, bahkan hingga sekarang perbedaan ini masih dapat diamati.
D. Lalu bagaimana menyikapi perbedaan tersebut? Patut dipahami, setiap orang bertanggung jawab dengan penyelidikan Alkitab secara pribadi dan komunal mengenai apa dia pikir diajarkan Alkitab atas doktrin-doktrin sekuder (bukan primer seperti di poin C), dan kemudian menilik kesimpulan-kesimpulan tersebut dengan berbagai macam ajaran yang ada di sepanjang sejarah gereja. Prinsip hermenutik yang perlu dipegang adalah: Kristosentris, historis, kanonis dan katolik.
II. PERBANDINGAN POSISI DOKTRINAL LUTHER, ZWINGLI, CALVIN DAN KAUM ANABAPTIS
A. Alkitab. Semua reformator di atas dan kaum Anabaptis percaya bahwa Alkitab adalah Firman Allah yang diilhamkan oleh Roh Kudus dan dituliskan untuk menjadi patokan dasar ajaran gereja. Tidak ada masalah pada ajaran mengenai pengilhaman dan otoritas. Namun Luther mempunyai ganjalan terhadap jumlah kanon. Luther membuat doktrin pembenaran oleh iman sebagai kriteria kanonisitas.
He thus placed the material or subjective principle of Protestanism above the formal or objective principle, the truth above the witness of the truth, the doctrine of the gospel above the written Gospel, Christ above the Bible. But we must remember that Luther first learnt Christ from the Bible, especially from the epistle of Paul, which furnished him the key for the understanding of the scheme of salvation (Schaff, History of the Christian Church)
Luther membedakan antara kitab-kitab PB yang lebih penting dan yang kurang penting. Ia menyebut Surat Yakobus, Yudas dan Wahyu di akhir Alkitab Jerman. Ketidaksenangannya dengan Surat Yakobus yakni oleh sebab ia tidak dapat menyelaraskan ajaran di dalamnya dengan ajaran Paulus mengenai pembenaran oleh iman dan bukan perbuatan, dan berkata lebih jauh lagi bahwa surat ini sebagai “surat jerami” bila dibandingkan dengan tulisan-tulisan para rasul yang sejati.
Zwingli hanya sangsi dengan Kitab Wahyu, dan tidak menggunakannya sebagai pedoman ajaran sebab ia tidak merasa bahwa kitab ini ditulis oleh rasul Yohanes. Calvin menerima kitab dalam PL dan PB, tetapi tidak pernah berusaha menulis suatu tafsiran Kitab Wahyu.
Semua Pengakuan Iman Reformed menerima ke-66 kitab dalam Alkitab Protestan modern, tetapi menolak kitab-kitab apokrif PL yang diterima oleh Katolik Roma.
Sedangkan kaum Anabaptis tidak terlalu mempermasalahkan kanonisasi Alkitab. Mereka sangat bertumpu kepada Khotbah Tuhan Yesus di atas Bukit sebagai pola kehidupan murid-murid Kristus. Bagi kaum Anabaptis, Khotbah di Bukit adalah ajaran yang harus dipatuhi karena langsung disampaikan oleh Sang Guru Agung sendiri.
B. Kedaulatan Allah. Para reformator adalah kaum Augustinian dalam konsepsi mereka mengenai dosa dan keselamatan. Mereka menekankan kepada kerusakan total manusia, pemilihan tak bersyarat dan predestinasi yang menyelamatkan.
We condemn man’s free will, his strength, his wisdom, and all religion of man’s own devising; in short we say that there is nothing in us able to deserve grace (Martin Luther).
This mightily offends our rational nature that God should, of His own mere unbiased will, leave some men to themselves, harden them and condemn them; but He gives abundant demonstration, and does continually, that this is really the case; namely, that the sole cause why some are saved, and others perish, proceeds fromHis willing the salvation of the former, and the perdition of the latter, according to that of saint Paul, “He hath mercy on whom He will have mercy, and whom He will harden” (Martin Luther).
Predestination we call the decree of God, by which He has determined in Himself, what He would have to become of every individual of mankind. For they are not all created with a similar destiny: but eternal life is foreordained for some, and eternal damnation for others. Every man, therefore, being created for one or the other of these ends, we say, he is predestined either to life or to death (Yohanes Calvin).
The rest of mankind, God was pleased, according to the unsearchable counsel of His will, whereby He extendeth or witholdeth mercy as He pleaseth, for the glory of His sovereign pover over His creatures, to pass by, and to ordain them to dishonour and wrath for their sin, to the praise of His glorious justice (Westminster Confession of Faith).
Kaum Anabaptis sebulat hati menerima teologi kehendak bebas. Mereka tidak menekankan atau bahkan tidak mengajarkan doktrin-doktrin pemilihan dan predestinasi. Kemungkinan besar, gaya hidup yang bebas dari orang-orang Reformed membuat mereka membanting setir kepada pandangan mengenai kehendak bebas.
C. Salib. Semua reformator juga kaum Anabaptis menerima bahwa Kristus merupakan substitusi bagi dosa semua orang yang percaya kepada-Nya untuk keselamatan mereka. Mereka percaya bahwa seseorang dibenarkan oleh anugerah melalui iman di dalam Kristus, dan tidak ada keselamatan di luar kematian dan kebangkitan Kristus. Kedua pihak tidak bersepakat mengenai jangkauan pendamaian tersebut, dan kaum Anabaptis mempercayai penebusan universal, sementara para reformator meyakini penebusan terbatas.
D. Jaminan Keselamatan. Para reformator bereaksi kepada doktrin Katolik Roma bahwa perbuatan baik dapat mengerjakan keselamatan, sehingga membuat seseorang bertanya-tanya apakah perbuatan baiknya sudah sukup untuk sampai ke surga. Para reformator menekankan aspek-aspek keselamatan yang objektif, posisional dan forensik. Bagi Luther, jaminan menjadi inti iman. Pengakuan Iman Augsburg mengatakan bahwa seseorang “is freely justified for Christ’s sake, through faith, when they believe that there are received into favor, and that their sins are forgiven for Christ’s sake” (pasal 4). Calvin meruntut jaminan tersebut sampai kepada ketetapan (dekrit) Allah. Calvin juga memandang jaminan sebagai inti iman, dan meragukan orang-orang yang mengklaim Kristus sementara tidak yakin bahwa ia berada di dalam Kristus.
Wherever this living faith is found, it must necessarily be accompanied by the hope of eternal salvation; for if we have not this hope, however eloquently we may discourse of faith, it is evident that we have none. The opinion consequently stands, that no one can be called a son of God who does not know himself to be such.
Maka, kita menemukan bahwa para reformator menghubungkan jaminan keselamatan dengan iman yang menyelamatkan, dan bila kita kehilangan kepastian tersebut, hal itu menandakan kemungkinan tidak adanya iman yang menyelamatkan.
Kaum Anabaptis akan menolak konsep bahwa seseorang dapat memiliki jaminan keselamatan seperti yang diyakini para reformator, sebab kaum Anabaptis menolak doktrin pemilihan anugerah.
E. Baptisan. Para reformator mempraktikkan baptisan bayi, dan percik adalah modus baptisan. Calvin dan Luther keduanya menyatakan keyakinan bahwa seorang dewasa sepatutnya dibaptiskan dengan diselam, sementara Zwingli pada suatu waktu mendorong baptis selam. Kaum Anabaptis meyakini keniscayaan baptisan, dan mereka berpikir bahwa baptisan bayi sekadar temuan manusia. Kaum Anabaptis mula-mula tidak mempermasalahkan cara baptisan, sebab mereka pun melakukan baptis dengan percik atau tuang. Sampai bertahun-tahun kemudian mereka menerima juga baptis selam.
F. Perjamuan Tuhan. Luther mempercayai konstubstansiasi, yaitu bahwa Kristus turut hadir dalam elemen perjamuan (di dalam, di bawah dan di atas), tetapi tidak ada mukjizat yang terjadi roti dan anggur berubah menjadi tubuh dan darah Kristus (seperti yang diyakini oleh doktrin transubstansiasi di gereja Katolik Roma). Zwingli percaya bahwa perjamuan Tuhan adalah sebuah memorial, dan bahwa elemen perjamuan hanyalah simbol penderitaan Kristus. Ia mengatakan bahwa Kristus sama sekali tidak hadir di dalam elemen perjamuan, sebab Kristus ada di surga. Namun ia masih percaya bahwa Kristus sungguh-sungguh nyata dalam iman orang percaya tatkala mengambil bagian dalam perjamuan. Calvin mengambil posisi tengah antara Luther dan Zwingli, dan ia percaya bahwa meskipun Kristus tidak sungguh-sungguh hadir dalam elemen, namun demikian Ia sungguh-sungguh hadir dalam kuasa Roh Kudus, dan bahwa anugerah dicurahkan kepada orang percaya melalui elemen perjamuan. Kaum Anabaptis memilih posisi Zwingli, bahwa perjamuan merupakan kenangan terhadap derita dan sengsara Kristus.
G. Pemerintahan Gereja. Secara keseluruhan, Reformasi condong kepada bentuk pemerintahan presbiterial (dipimpin oleh penatua atau sesi atau konsistori). Kaum Anabaptis memilih bentuk pemerintahan konggregasional dan gereja bebas.
H. Gereja dan Negara. Luther dan Zwingli percaya bahwa negara harus mempunyai kuasa atas urusan-urusan gerejawi, sebab negara ada untuk melindungi gereja dari musuh-musuh politis dan religius. Calvin percaya bahwa gereja dan negara harus terpisah, tetapi memandang penting bahwa negara harus mendengarkan gereja atas masalah-masalah moral. Kaum Anabaptis sangat radikal dan mengemukakan pemisahan total gereja dan negara. Hal ini diikuti dengan keekstreman bahwa mereka memilih cara hidup pasifis, juga dengan menolak sumpah, menjadi bagian militer, dan untuk mengurusi hal-hal politik sekular.
I. Kemurnian Gereja. Para reformator percaya bahwa gereja yang kelihatan, yaitu gereja lokal beranggotakan umat Allah yang sejati dengan yang bukan, dan hal ini tidak dapat dipungkiri. Alasannya, banyak orang yang beralih dari Katolik Roma ke Prostestan tanpa benar-benar menunjukkan spiritualitas yang benar. Kaum Anabaptis percaya bahwa gereja sejati beranggotakan orang-orang Kristen yang sungguh-sungguh tahu apa artinya diselamatkan. Mereka menerima bahwa beberapa anggota gereja yang kelihatan bisa saja terhilang (murtad), tetapi adalah tugas gereja untuk menjaga anggota-anggotanya semurni-murninya. Kaum Anabaptis juga tidak menekankan perihal gereja yang tidak kelihatan.
J. Milenialisme. Semua reformator adalah amilenialis (tidak ada Kerajaan Seribu Tahun secara harfiah) dalam teologi mereka. Hal ini merupakan warisan dari Gereja Katolik Roma yang telah menekankan teologi amilenial untuk istilah “seribu tahun” di dalam Kitab Wahyu. Para reformator percaya juga Kristus akan datang kembali, dan akan ada penghakiman atas orang-orang fasik dan upah bagi orang benar. Namun, mereka tidak percaya pemerintahan Kristus harfiah selama “seribu tahun.” Isu yang ditekankan para reformator adalah soteriologi (doktrin keselamatan) dan bukan eskatologi (doktrin akhir zaman). Sementara itu, kaum Anabaptis percaya akan adanya pemerintahan Kristus secara kasat mata, di atas bumi, dan hal ini terus merupakan kesenjangan dengan ajaran para reformator kala itu.
K. Ritual. Luther dan Zwingli percaya bahwa apa pun yang tidak dilarang oleh Alkitab boleh dilakukan untuk menjadi pranata gereja. Mereka mempertahankan altar, lilin serta pernik-pernik hiasan gereja. Calvin menekankan hanya yang secara terang-terangan dinyatakan di dalam Alkitab yang boleh dipakai dalam ibadah. Kaum Anabaptis bergerak lebih maju, mereka ingin meniadakan semua kemapanan di dalam Gereja Katolik Roma dan membangun sebuah gereja baru berdasarkan prinsip-prinsip PB.
L. Kebebasan Religius. Para reformator tidak menoleransi pihak-pihak yang tidak sependapat dengan mereka. Setelah melepaskan diri dari ikatan kepausan gereja Katolik, mereka kembali bertindak menurut prinsip yang sama yaitu menganiaya sesamanya, sama seperti yang dilakukan oleh Gereja Katolik Roma. Hal ini dapat dimaklumi, mereka bertumbuh dewasa dari latar belakang seperti itu. mereka tidak memiliki konsep toleransi atau kebebasan seperti halnya yang kita miliki sekarang. Mereka memperjuangkan kebebasan di dalam Kristus, bukan dari Kristus. Mereka pun memperjuangkan kebebasan untuk berkhotbah dan mengajarkan Injil, bukan untuk melawan ataupun mencemarinya. Mereka merasa hal untuk melawan dan menghukum kaum bidat (penyesat) merupakan kewajiban kepada Allah dan kepada diri mereka sendiri.
Religious persecution arises not only from bigotry and fanaticism, and the base passion of malice, hatred and uncharitableness, but also from the mistaken zeal for truth and orthodoxy, from the intensity of religious conviction, and from the alliance of religion with politics or the union of church and state, whereby an offence against the one becomes an offence against the other (Schaff).
Dalam hal toleransi religius dan hak-hak manusia, kaum Anabaptis selangkah lebih maju pada zaman itu. Mereka membebaskan setiap orang untuk mengungkapkan religinya, meskipun mereka tidak dapat sepakat manakah Injil Kristus yang sejati. Jejak yang ditinggalkan oleh toleransi ini adalah keberagaman keyakinan di dalam tubuh Anabaptisme. Sangat sulit meretas satu bentuk Anabaptisme yang murni. Mungkin bolehlah dikatakan, Anabaptisme merupakan cikal bakal pascamodernisme di era pramodern.
TERPUJILAH ALLAH!
(leNin_Nov0706)
Mennonitika Selayang Pandang (1)
I. DEFINISI
A. Sufiks “-tika” (Inggris, -tics), seperti dalam matematika, hermeneutika, adalah ilmu (sains) yang mengkaji secara khusus mengenai sesuatu. Jadi, “Mennonitika” adalah bidang keilmuan yang dapat dipertanggungjawabkan mengenai Mennonite.
B. Mennonite adalah salah satu cabang dari gerakan Anabaptis, yang muncul pada abad ke-15 dan 16. Dinamai Mennonite menurut restitutor utamanya, Menno Simons. Untuk mengenal dan mengkaji Mennonite, kita harus meneliti Anabaptisme sebagai induk yang membidaninya.
II. PENDAHULUAN
A. Kaum Anabaptis merupakan orang-orang yang melepaskan diri dari tradisi Kekristenan arus utama, baik Katolik Roma maupun Reformasi. Slogan yang tepat untuk menamai gerakan ini adalah neither Protestant nor Catholic, bukan Protestan ataupun Katolik.
B. Kaum Anabaptis menolak baptisan bayi dan percaya bahwa gereja yang kelihatan, sebagai persekutuan nyata orang-orang percaya hanya terdiri dari orang-orang yang diselamatkan dan dibaptiskan sebagai orang-orang percaya. Pada zaman dulu, mereka mengharuskan agar seseorang yang telah dibaptis bayi harus kembali dibaptiskan kembali menurut pengakuan mereka kepada Kristus.
C. Prefiks ana- yang berarti “lagi atau “kembali” dan kata Yunani baptismos, “baptis” menjadi kata “Anabaptis”—meskipun bukan pilihan kata dari tokoh-tokoh gerakan Anabaptis tetapi istilah yang diatributkan khususnya oleh pengikut Zwingli dan Luther—pada akhirnya menandai orang-orang yang dibaptiskan ulang itu. Kaum ini lebih suka disebut sebagai “Saudara-saudara” (Brethren) atau “Persekutuan Kaum Patuh” (The Company of the Committed).
D. Gerakan Anabaptis secara resmi mulai pada sekitar tahun 1522 di Zurich, Switzerland, yaitu manakala ada orang-orang yang menghendaki agar Reformasi dijalankan lebih cepat lagi dan berpola sesuai dengan gereja di Perjanjian Baru, dan harus lebih cepat daripada yang sudah dilakukan oleh Ulrich Zwingli. Maka kemudian, terjadilah perpisahan antara Zwingli dan para pembaru yang semula kebanyakan adalah murid-muridnya sendiri.[1]
E. Sangat sulit untuk mengklasifikasikan kaum Anabaptis dalam satu kelompok iman, sebab nyatanya terdapat begitu beragam perbedaan di antara mereka. Beberapa orang termasuk kaum fanatik dan bidat yang mengolok-olok perjuangan para reformator arus utama. Kelompok lain tidak seekstrem kelompok di atas. Beberapa orang memeluk paham panteisme (Allah dan dunia ini sama), beberapa lagi mistis-esoteris (menonjolkan hal ikhwal dunia rohani), beberapa orang anti-Trinitas, beberapa lagi kaum milenialis ekstrem (memperjuangkan Kerajaan Allah dengan mengangkat senjata), sedangkan yang lain cukup biblis (alkitabiah) dalam teologi mereka.
F. Pada dekade 1940-1950 beberapa ahli mengupayakan “pemulihan visi Anabaptisme,” dipicu oleh Harold S. Bender, dan diikuti oleh teolog-teolog seperti John Christian Wenger, Leonard Verduin dan John Howard Yoder. Kelompok ini, yang diberi istilah the Bender School mengupayakan teologi Anabaptis-Mennonite yang utuh dan memulihkan penafsiran yang melenceng tentang Anabaptis. Namun dalam dekade-dekade berikutnya, muncul mazhab kedua yaitu the Revisionist School yang berfokus lebih kepada kepelbagaian dan natur yang multilapis dari gerakan Anabaptis, mengacu kepada pemikiran tokoh-tokoh utamanya di abad ke-16 (Hoffman, Munster, Hut, Hubmaier), asal muasal, kondisi sosial dan konteks religi dalam perjuangan kelas, pantang kekerasan, paham akhir zaman yang sudah dekat, pendahulu-pendahulu di abad pertengahan, pengaruh Erasmus dan kaum humanis, peran perempuan, dsb. Teolog-teolog dalam mazhab ini misalnya: Walter Klaassen, C. Arnold Snyder.[2]
G. Sebagian besar kaum Anabaptis adalah orang-orang yang spiritual, yang membaktikan diri mereka secara total. Mereka adalah orang-orang yang menyediakan waktu khusus untuk mempelajari kitab-kitab suci, dan berkesimpulan bahwa para reformator tidak memurnikan gereja dengan segera ataupun tidak secara tepat menerapkan prinsip-prinsip yang diajarkan dalam Perjanjian Baru.
H. Kaum Anabaptis mungkin adalah yang paling sedikit dikenal dalam sejarah Reformasi dan paling teraniaya dari semua gerakan pada zaman Reformasi. Katolik, Lutheran dan Calvinis dengan keras melawan mereka.
III. PEMIMPIN-PEMIMPIN UTAMA GERAKAN ANABAPTIS[3]
A. Pendahuluan. Secara keseluruhan, gerakan Anabaptis berpusatkan pada orang-orang yang menginginkan berdirinya Gereja Kristen Perjanjian Baru yang bersahaja dan sederhana. Dalam pada itu, ternyata didapati bahwa dalam gerakan ini terdapat pemimpin-pemimpin yang merupakan orang-orang cukup ternama serta terpelajar.
B. Conrad Grebel. Grebel adalah seorang anggota terpandang gereja Zurich. Ia telah dididik di bawah pengajaran yang ketat dari Ulrich Zwingli, dan dengan sebulat hati menyetujui tulisan Zwingli mengenai reformasi, serta pola-pola pembaruannya. Namun, ia segera dikecewakan dengan Zwingli dan Luther oleh sebab ia merasa gereja tidak sedang dibarui menurut garis Perjanjian Baru. Pada Januari 1525, seorang imam yang bernama Georg Blaurock meminta Grebel untuk membaptiskannya kembali, meskipun ia sudah dibaptis pada masa kanak-kanak. Grebel memenuhinya. Kemudian setelah itu, Blaurock membaptis ulang yang lain pula. Maka, kita boleh mengatakan bahwa gerakan Anabaptis dimulai oleh Conrad Grebel.
C. Balthasar Hubmaier. Hubmaier adalah seorang yang mendapatkan pendidikan yang baik pada zamannya, sebab ia dapat meraih doktorat dalam bidang teologi dari Universitas Ingolstadt. Ia adalah seorang imam, dan pada saat menggembalakan di Walshut, suatu perubahan besar terjadi atas dirinya manakala ia mempelajari Perjanjian Baru. Ia menemukan banyak hal yang selama ini ia kerjakan ternyata bertentangan dengan Alkitab, dan ia kemudian mulai mengkhotbahkan pembaruan. Nurani Hubmaier mulai terusik ketika ia sampai kepada pengajaran mengenai baptisan, pemurnian gereja, kelahiran baru, pemuridan, dan penginjilan. Hubmaier membaptis ulang seluruh jemaatnya yang berjumlah 300 orang, dan gereja tersebut segera mengumumkan putus hubungan dengan Katolik Roma. Ia sangat menyukai khotbah-khotbah penginjilan, dan pergi ke Moravia, dan di sana ribuan orang menjadi percaya. Hubmaier mungkin merupakan satu dari sekian pemimpin Anabaptis yang mempercayai pemilihan dan predestinasi (walau dalam versi yang berbeda dengan Augustinus, Luther dan Calvin). Ia meninggal sebagai martir pada tahun 1527, dan dua tahun kemudian istrinya ditangkap dan ditenggelamkan ke dalam sungai.
D. Jacob Hutter. Hutter adalah seorang saleh dan rohani yang berkhotbah di Austria, Moravia dan Polandia hingga kemartirannya pada tahun 1536. Ia mendirikan suatu kelompok yang dinamakan Kaum Hutterit.
E. Menno Simons (1496-1561). Simons adalah seseorang yang sederhana dan tinggal dalam keadaan hidup yang susah. Seorang imam di salah satu gereja Katolik Roma di Pingjum, Belanda, dekat Witmarsum. Ia diteguhkan sebagai imam di Utrecht. Ia dengan rela hati menanggalkan keimamannya pada tahun 1536, dengan berani menyatakan bahwa ia tak mungkin dapat tinggal lebih lama sebagai seorang imam Katolik. Ia merasa bahwa baik Katolik maupun Protestan telah mengerjakan hal yang penting bagi kehidupan rohani seseorang. Yang terjadi adalah mengerjakan hal-hal yang tampak luarnya saja dan kemunafikan. Ia melawan fanatisisme pada eranya, dan tidak dapat mengerti mengapa orang-orang Kristen saling menganiaya. Ia banyak berjuang bagi terwujudnya pemuridan yang sejati dan kehidupan yang kudus, dan sungguh-sungguh percaya bahwa orang-orang Kristen yang bersungguh-sungguh pasti akan mengalami penganiayaan dari dunia. Para pengikut ajaran Menno Simons ini kemudian dinamakan kaum Mennonite, dan selanjutnya perkembangan mereka sampai ke Rusia, Amerika Serikat, Canada, India dan Indonesia, dan masih banyak lagi. Orang-orang Mennonite dicirikan oleh pasifisme, dan mereka ini adalah orang-orang yang tekun, produktif dan biasanya hidup berkoloni.
IV. TEOLOGI MENNONITE DAN TEOLOGI PARA REFORMATOR
A. Pendahuluan. Pada pokok-pokok pengajaran yang penting dalam Kekristenan, baik kaum Mennonite maupun Reformasi sepakat. Mereka meyakini Trinitas, ketuhanan Yesus, pendamaian, otoritas Alkitab dan kedatangan kembali Tuhan Yesus. Kaum Mennonite biasanya bukan teolog-teolog, dan tidak berminat menyusun pengakuan-pengakuan iman maupun buku-buku dogmatika. Meskipun mereka telah menuliskan pokok keyakinan mereka salah satunya dalam Pengakuan Iman Schleitheim (1527).
B. Gereja dan Negara. Mennonite bereaksi keras dengan hubungan yang dekat antara gereja dan negara yang terjadi dalam wilayah-wilayah Katolik maupun Protestan. Dalam gereja Protestan, massa akan turut saja bilamana dewan kotanya atau penguasa tertinggi kota itu bergabung dengan Reformasi. Oleh sebab kebanyakan anggota gereja adalah juga anggota negara, maka ikatan antara gereja dan negara sedemikian besar. Dalam banyak kasus, meskipun para reformator menjauhkan aspek-aspek eksternal dari ritual Gereja Katolik Roma, kehidupan pribadi dari umat sesungguhnya belum tersentuh. Juga, banyak yang menggunakan ajaran pembenaran oleh iman sebagai “katebelece” atau dasar alasan bagi tindakan-tindakan dosa dan amoral. Kaum Anabaptis-Mennonite menuntut perpisahan total antara gereja dan negara, demi kemurnian gereja serta untuk menyuarakan seruan kenabian kepada negara; konsekuensinya, gereja harus siap dengan penolakan bahkan penganiayaan dari negara. Kaum Mennonite sungguh-sungguh pasifis, menentang segala urusan kemiliteran, tidak mengangkat sumpah dan tidak menduduki posisi-posisi pemerintahan.
C. Kebebasan Nurani. Oleh karena doktrin pemisahan gereja dan negara di atas, maka kaum Mennonite mendorong kebebasan beragama dan berdirinya “gereja merdeka.” Mereka melawan kemapanan iman, dan meyakini bahwa menganiaya orang lain itu sama sekali tidak dibenarkan. Mereka mengajarkan bahwa seseorang sungguh-sungguh merdeka untuk percaya menurut hati nurani, walaupun ia mungkin saja salah dalam mengambil keputusan. Mereka memandang bahwa di kalangan Reformasi seseorang bebas sejauh mereka setuju dengan reformator di kota itu. Sederhananya, tidak ada atau sedikit saja kebebasan di bawah para reformator.
D. Kemurnian Gereja. Orang-orang Mennonite percaya bahwa gereja yang kelihatan, sedapat mungkin beranggotakan orang-orang yang telah lahir baru, dan sudah dibaptiskan. Bagi mereka, gereja bukanlah suatu institusi yang bercirikan baik kelihatan maupun tidak kelihatan, seperti yang dipikirkan oleh para reformator. Gereja adalah persekutuan jemaat lokal. Mereka percaya pada “keanggotaan suka rela”—yaitu bahwa seseorang masuk ke dalam gereja oleh sebab ia percaya dirinya sudah diselamatkan; bukan dilahirkan kembali supaya menjadi bagian gereja Tuhan. Sering kali para reformator menyatakan bahwa cukuplah menarik diri dari Gereja Katolik, tetapi kaum Anabaptis-Mennonite menuntut bahwa seseorang harus tahu dirinya sudah diselamatkan sebelum memasuki gereja yang kelihatan, gereja lokal.
Gereja Mennonite percaya “pengucilan,” sebagai hak gereja untuk mendisiplin anggota-anggotanya. Seorang Kristen bergabung dengan gereja oleh karena pilihannya sendiri dan dengan suka rela menempatkan dirinya di bawah pengaturan gereja tersebut.
E. Baptisan Orang Percaya. Kaum Anabaptis-Mennonite tidak fleksibel dalam hal ini. Mereka menentang baptisan bayi dan menyatakannya tidak alkitabiah, serta mengemukakan alasan mendasarnya yaitu bahwa banyak orang di dalam gereja Katolik Roma dan Reformasi belum sungguh-sungguh diselamatkan.
F. Modus Baptisan. Kaum Mennonite semula tidak mempermasalahkan cara baptisan. Pada permulaan berdirinya, banyak gereja Mennonite yang mempraktikkan baptis percik (tuang) selama bertahun-tahun sebelum beberapa kalangan sampai kepada pemahaman bahwa cara baptis yang benar dalam Perjanjian Baru adalah diselam. Para pendahulu juga mengizinkan orang Kristen membaptiskan orang Kristen lainnya, bila keadaannya tidak memungkinkan untuk mengundang seorang imam tertahbis.
G. Kaum Milenialis. Sejumlah besar pemeluk Anabaptis-Mennonite percaya kedatangan Kristus premilenial, yaitu bahwa Kristus akan mendirikan suatu kerajaan di atas bumi ini untuk masa 1000 tahun. Sejumlah kecil sangat fanatik dengan nubuatan ini dan telah mencoreng gerakan Anabaptis secara keseluruhan (mis. Thomas Muentzer). Kaum Anabaptis bertentangan dengan para reformator yang kebanyakan memegang paham amilenialis. Mungkin kaum Anabaptis adalah satu-satunya kelompok yang menanti-nantikan kehadiran Kristus kembali dalam jangka waktu tidak lama lagi.
H. Pemisahan dari Dunia. Kaum Anabaptis-Mennonite menekankan kekudusan hidup dan perlunya untuk menjaga hidup yang tak bercela di dalam dunia. Pada banyak hal, keyakinan ini melahirkan legalisme dan menyebabkan pengucilan kelompok-kelompok tertentu, tetapi mereka juga melawan keduniawian di dalam gereja lokal. Mereka memegang teguh upaya untuk tidak serupa dengan dunia dalam adat istiadat, berpikir dan kebiasaan di dunia. Orang-orang Mennonite tidak memiliki minat untuk membangun suatu kebudayaan atau wawasan dunia dari sudut teologi Mennonite.
I. Teologi Kehendak Bebas. Meskipun cukup sulit untuk mengklasifikasikan semua orang Anabaptis, sejumlah besar dari mereka meyakini semacam teologi kehendak bebas, yang bertolak belakang dengan para reformator yang dengan kuat meyakini kedaulatan Allah dalam pemilihan anugerah dan predestinasi.
J. Perjamuan Tuhan. Tidak seperti para reformator, kaum Anabaptis-Mennonite memandang bahwa Perjamuan Tuhan sekadar merupakan suatu peringatan mengenai kesengsaraan Kristus, dan Kristus tidak hadir dalam elemen perjamuan.
K. Penginjilan. Kaum Anabaptis-Mennonite dengan bersemangat tinggi mewartakan Amanat Agung dan berminat dalam kegiatan-kegiatan misi. Karena itu tidak mengherankan, banyak misiolog dunia pada zaman sekarang ini yang berlatar belakang Mennonite.
L. Pemuridan. Pemuridan adalah pokok penting dalam tata kehidupan etik Mennonite. Mereka melancarkan kritik kepada para pengikut reformator yang memegang doktrin kesalehan, namun hidup dalam kefasikan. Seorang Kristen yang sejati harus "tunduk-patuh" (Gelassenheit) kepada ajaran Kristus seperti tercermin dalam Khotbah di Bukit.
M. Pola Pembaruan. Kaum Anabaptis-Mennonite merasa, adalah mustahil untuk memperbarui Gereja Katolik Roma, dan kemudian mengemukakan pendapat bahwa seseorang takkan mungkin dapat meletakkan satu kehidupan di dalam organisasi yang sudah kehilangan nyawa. Mereka menghendaki adanya satu gereja baru, yang sungguh-sungguh berpijak kepada Perjanjian Baru.
V. KERAJAAN MUNSTER
A. Satu episode tragis dalam seluruh sejarah Gereja Kristen adalah upaya beberapa orang radikal untuk mendirikan satu Kerajaan Anabaptis di Munster, di Westphalia, Jerman.
B. Melchior Hoffman, seorang yang sangat radikal dan percaya kepada nubuatan, memprediksikan bahwa Kristus akan datang kembali pada tahun 1533. Hoffman ditentang oleh para reformator dan juga kaum Anabaptis Swiss, tetapi begitu banyak orang di Belanda yang mengikuti ajarannya, termasuk Jan Matthys. Hoffman lalu dipenjarakan di Strassbourg, dan akhirnya meninggal di sana.
C. Matthys mendeklarasikan bahwa ia adalah sang nabi Henokh, yang Hoffman katakan akan muncul sebelum kedatangan kembali Kristus. Pada tahun 1533 para pengikut Matthys menobatkan diri mereka tuan-tuan atas kota Munster, dan Matthys segera mengambil langkah. Ia memproklamirkan bahwa Munster akan segera menjadi Yerusalem Baru dengan pola masyarakat sosialis (semua milik bersama) dan tanpa hukum.
Orang-orang ini mengkhotbahkan milenialisme yang liar, dan menekankan bahwa hari murka Tuhan akan segera tertumpah dan bahwa orang-orang kudus akan menguasai dunia.
D. Segera kemudian Munster dijaga ketat oleh pasukan Katolik dan Lutheran. Setelah memberi waktu orang-orang lain untuk meninggalkan kota Munster, kaum Munsteris lalu membunuhi orang-orang yang dicurigai tidak bersimpati dengan mereka. Matthys terbunuh dalam peperangan pada April 1534, dan setelah itu Yohanes dari Leyden mengambil alih. Ia memperkenalkan praktik hidup poligami, dan di musim gugur 1534 ia menobatkan dirinya sebagai raja.
E. Munster dikuasai selama lebih dari satu tahun sedangkan kaum Anabaptis yang radikal ini sangat gigih. Namun sengsara mereka kemudian tak terbilang! Pada 24 Juni 1536, kota tersebut direbut kembali. Pembunuhan masal terjadilah, dan para pemimpin gerakan Munster itu dianiaya dengan kejam.
F. Munster adalah “noda hitam” dalam sejarah Anabaptis, akan tetapi kebanyakan kaum Anabaptis-Mennonite bukan seradikal itu. Banyak dari mereka yang sungguh-sungguh menjadi orang Kristen yang saleh.
VI. PENGANIAYAAN KAUM ANABAPTIS
A. Meski penderitaan itu kadang bersumber dari kefanatikan sempit dari orang-orang Anabaptis sendiri, penganiayaan lain nampaknya oleh sebab mereka memegang teguh keyakinan atas Alkitab. Cara pandang mereka akan doktrin, politik dan sosial dipandang janggal dan aneh baik oleh Katolik dan Lutheran.
B. Orang-orang Anabaptis dibantai, ditenggelamkan dan dibakar hidup-hidup, didera dan disiksa dengan cara-cara penyiksaan yang berlaku pada zaman itu untuk kriminalitas karena menolak membayar persepuluhan, menolak hadir dalam gereja, menolak larangan untuk melakukan kelompok belajar Alkitab di rumah-rumah, menolak larangan untuk berkhotbah, serta kesalahan-kesalahan lain sehubungan dengan gereja-negara. Beribu-ribu orang Anabaptis dibunuh.
C. Orang-orang Anabaptis paling banyak dibantai oleh Gereja Katolik Roma. Banyak dari antara mereka ditenggelamkan oleh sebab keyakinan mereka sendiri bahwa baptisan dilakukan dengan cara diselam. Orang-orang Lutheran juga banyak membunuhi orang-orang Anabaptis dengan satu atau lain cara. Yohanes Calvin juga, walaupun tidak memerintahkan pembunuhan atas mereka, setuju dengan tindakan pembunuhan itu.
VII. KONTRIBUSI ANABAPTIS-MENNONITE
A. Anabaptis-Mennonite menyerukan kebebasan beragama pada zaman orang Katolik dan Protestan kurang menghargai pentingnya menyatakan kemerdekaan hati nurani. Kaum Anabaptis meninggalkan jejak kebebasan religius di dalam dunia.
B. Anabaptis-Mennonite menekankan kemurnian gereja lokal. Gereja sebagai persekutuan pengikut Kristus harus dapat dilihat bedanya dari dunia. Gereja haruslah beranggotakan orang-orang percaya saja. Namun harus diakui, pada akhirnya banyak pula kalangan Mennonite yang sadar bahwa gereja yang kelihatan juga beranggotakan orang-orang belum jelas keselamatan mereka.
C. Anabaptis-Mennonite merupakan gerakan yang sangat aktif dalam karya-karya penginjilan. Baik dalam dukungan material maupun pelatihan-pelatihan misionaris banyak muncul dari kalangan mereka.
D. Anabaptis-Mennonite juga aktif dalam upaya-upaya perdamaian dan karya-karya sosial-kemanusiaan.
(leNin_Nov0706)
[1]Lihat Nindyo Sasongko, “Restitusi Kontra Reformasi?: Reformasi Zürich dan Kelahiran si Anak Tiri,” Veritas 5/2 (Oktober 2004) 213-223.
[2]Howard J. Loewen, “The Mennonite Tradition: An Interpretation for International Catholic-Mennonite Dialogue: Toward the Healing of Memories,” (makalah dalam The Catholic-Mennonite Consultation, Strassbourg, 14-18 Oktober 1998).
[3]C. Arnold Snyder, Anabaptist History and Theology (edisi revisi; Kitchener: Pandora; Scottdale: Herald, 1995).
Monday, November 06, 2006
Musik Ibadah
BACAAN WAJIB UNTUK PARA PELAYAN IBADAH GKMI KUDUS
Buklet 2
1. Dari sekian “peperangan” yang terjadi seputar ibadah, peperangan mengenai musik adalah yang paling seru. Bahkan emosional! Perubahan dalam gaya musik telah memecahbelah, membingungkan, dan membuat marah para penyembah. Haruskah kita menyanyikan himne-himne tua dan mendengarkan pujian paduan suara? Haruskah musik bercorak klasik, tradisional, kedaerahan, rock, kontemporer, atau apa? Haruskah kita memakai organ dan piano, atau gitar dan drum? Apakah musik itu untuk pujian semata-mata, tidak boleh berfungsi lain? Di banyak kebaktian alokasi waktu untuk nyanyian ditambah. Beberapa ibadah dimulai dengan praise and worship yang lama, seolah-olah bernyanyi itulah ibadah dan selebihnya dalam ibadah urusan lain.
2. Bagaimana kita menyikapi hal ini? Perubahan di dalam musik ibadah—baik ke corak yang lebih kuno atau baru—cukup sulit ditentukan, sebab kebanyakan jemaat bukan musisi dan sekadar menyukai apa yang akrab di telinga mereka. Kebanyakan jemaat tidak tertarik dengan teori estetika, tetapi cenderung memilih musik berdasarkan kecenderungan emosi. Oleh karena musik sangat berpengaruh dalam mengekspresikan emosi kita, tidaklah mengagetkan musik pun dapat menjadi “lahan yang penuh ranjau” atau jebakan yang berbahaya baik secara individu maupun dalam berjemaat.
3. Kita seharusnya mengevaluasi musik secara alkitabiah. Kita harus mundur sejenak dari pengalaman individual kita dan sekali lagi bertanya, “Apa yang Allah perkenan?” Kita harus sadar bahwa tidak semua musik dan pujian menyenangkan hati-Nya. Coba Anda pikirkan ibadah dan pujian yang Israel naikkan kepada Allah di padang belantara Sinai. Mereka membuat anak lembu emas, memanggilnya Tuhan, dan berdansa-dansi di sekelilingnya (Kel. 32.4-6). Pujian yang seperti itu adalah pelecehan terhadap Allah dan mengundang murka-Nya! Kita harus dengan hati-hati menelisik apa yang Alkitab katakan mengenai bagaimana kita seharusnya memuji Tuhan dan menata musik bagi Dia.
4. Ketika kita merenungkan musik dan ibadah bagi Allah, kita sesungguhnya memikirkan tiga isu: (a) orientasi dasar nyanyian ibadah; (b) substansi nyanyian ibadah; (c) alunan dan instrumen-instrumen yang boleh kita pakai untuk nyanyian ibadah.
5. Orientasi dasar nyanyian ibadah. Inilah bagian yang terpenting dalam nyanyian. Kata-kata yang kita letakkan di bibir untuk dinyanyikan bagi Allah harus benar dan menyenangkan hati-Nya. Satu masalah yang kita hadapi dewasa ini yaitu bahwa “para rohaniwan dan tim ibadah sering mengabaikan pastoral dalam bidang ibadah, termasuk isi doktrinal dalam musik.” Tapi, bagaimana kita yakin bahwa kata-kata yang kita nyanyikan menyenangkan hati Allah? Allah telah memberi kita bimbingan, di dalam Alkitab ada satu buku yang secara keseluruhan merupakan model nyanyian yang benar. Kitab Mazmur menyediakan contoh lagu-lagu yang Allah sendiri telah inspirasikan (ilhamkan). Sangat dianjurkan bagi tiap-tiap orang yang melayani ibadah untuk merenungkan dan mempelajari Kitab Mazmur baik-baik.
6. Substansi nyanyian ibadah. Apa yang Mazmur ajarkan tentang nyanyian? Pertama, mengingatkan kita betapa kaya dan beragamnya pujian yang dapat dan/atau harus kita persembahkan kepada Allah. Mazmur berisi pujian sukacita dan ucapan syukur. Mazmur disebut Kitab Puji-pujian sebab tidak hanya berisi, tetapi juga berpuncak pada pujian kepada Allah (lihat ps. 146-150). Tetapi Mazmur berisi lebih daripada pujian saja. Beberapa mazmur merefleksikan penciptaan (ps. 2, 22, 24, 110); yang lain merenungkan kesempurnaan Firman Allah yang diwahyukan (ps. 119). Ada pula mazmur ratapan dan pertobatan (ps. 32, 51, 137) juga yang berisi kebingungan dan frustrasi yang dialami umat Allah ketika hidup di dunia yang cemar (ps. 44, 73). Yohanes Calvin benar ketika mengomentari Nyanyian Mazmur, “Tidak ada satu emosi pun yang secara sadar dialami oleh siapa saja yang tidak terpantulkan di sini bak dalam sebuah cermin.”
7. Di beberapa gereja dewasa ini, nampaknya hanya lagu-lagu sukacita dan kegirangan saja yang banyak dinyanyikan. Tapi sukacita bukan satu-satunya emosi yang orang Kristen alami. Ibadah Kristen harus menyediakan waktu di mana kesedihan atau emosi reflektif diungkapkan di samping yang sukacita. Alangkah indahnya bila kita membiasakan Nyanyian Mazmur untuk dapat sampai kepada tujuan tersebut.
8. Kedua, Mazmur juga memberi model mengenai substansi nyanyian. Beberapa Mazmur cukup pendek dan ada kata-kata yang diulang-ulang, tapi kebanyakan merupakan respons yang penuh, kaya dan saksama terhadap Allah dan karya-karya-Nya. Menyanyikan pujian kepada Allah, sang pemazmur mengingatkan kita, bukan sekadar ungkapan emosi, tetapi juga benar-benar urusan pikiran. Nyanyian yang cuma diulang-ulang atau dangkal atau sentimental tidak setia kepada teladan Mazmur. Pikiran dan perasaan yang seiring-sejalan merupakan contoh pujian dalam Mazmur, dan gereja modern harus berusaha untuk memulihkan kesatuan yang telah hilang ini.
9. Sekali kita menangkap kembali pengertian yang tepat mengenai isi teks yang harus kita nyanyikan, maka dua isu yang mengikutinya cukup mudah diselesaikan. Alunan nada seperti apa yang seharusnya kita nyanyikan? Kita dapat saja memakai alunan apa saja yang bisa dinyanyikan bagi jemaat yang mendukung isi lagu tersebut. Alunan juga harus mencerminkan mood dan substansi nyanyian dalam terang sukacita dan penghormatan yang tepat untuk ibadah. Dengan tuntunan ini (sambil menyadari sulitnya bagi jemaat bagi perubahan), maka masalah alunan seharusnya dapat diselesaikan secara halus.
10. Alunan dan instrumen seperti apa? Gaya musik apa yang alkitabiah? Di PL, beragam alat musik dipakai di dalam Bait Allah. Namun dalam ibadah Gereja seribu tahun pertama tak ada alat musik sama sekali. Dewasa ini kebanyakan gereja memakai lebih dari satu instrumen. Tapi di mana instrumen dipakai, alat itu harus menolong nyanyian jemaat, bukan mengacaukannya. Intrumen haruslah menambahkan semangat untuk memperdalam perasaan hormat dan sukacita, bukan menguranginya.
11. Tak satu pun PB memberi indikasi jelas tentang instrumen ibadah. Instrumen bukan pusat ibadah. Alat musik mendukung pujian yang dinaikkan jemaat, sebagaimana dititahkan oleh Tuhan. Jika ini tujuannya, maka musik rock tidak tepat untuk ibadah Kristen, meski organ atau gitar dapat dipakai.
12. Musik adalah elemen yang berpengaruh lagi vital dalam kehidupan ibadah jemaat. Namun karena pentingnya ini, kita perlu berhati-hati! Kita harus yakin bahwa kita sedang menyenangkan hati Allah dan bukan mencari hiburan untuk diri sendiri. Cobaan untuk membelokkan ibadah kepada tontonan yang menghibur demikian besarnya, karena sebagai orang-orang berdosa kita cenderung berpusatkan diri sendiri, “egosentris,” daripada berpusatkan Allah, “theosentris.” Kita condong untuk membuat nyaman diri sendiri ketimbang melayani Allah dengan segera dan tulus.
TERPUJILAH ALLAH!
Delapan Norma Dasar Ibadah Kristen
BACAAN WAJIB UNTUK PARA PELAYAN IBADAH
Buklet 1
1. Ibadah Kristen haruslah alkitabiah. Alkitab adalah sumber pengetahuan kita akan Allah dan akan penebusan dunia di dalam Kristus. Pembacaan Alkitab merupakan bagian yang utama dalam ibadah. Ibadah haruslah mengetengahkan keberadaan, kesempurnaan dan tindakan-tindakan Allah yang bersesuaian dengan yang diberitakan Alkitab. Ibadah haruslah mematuhi amanat-amanat Alkitab mengenai praktik-praktik kebaktian, dan ibadah harus mewaspadai gaya yang salah dan tidak semestinya. Ibadah haruslah memfokuskan perhatiannya tepat seperti yang diwartakan Kitab Suci: pada pribadi dan karya Yesus Kristus sebagai Penebus segala ciptaan, Sang Pendiri dan Penahbis Kerajaan Allah melalui karya Roh Kudus.
2. Ibadah Kristen haruslah dialogis. Dalam ibadah, Allah berbicara dan Allah mendengarkan. Oleh kuasa Roh Kudus, Allah menantang kita, menghibur kita, dan membangkitkan kita. Dengan karya efektif Roh Kudus, kita mendengarkan dan kemudian berespons dengan pujian, pengakuan dosa, permohonan, kesaksian dan persembahan diri. Alkitab terus-menerus memotret Allah sebagai inisiator, tetapi Allah juga aktif berpartisipasi dalam persekutuan bersama umat. Suatu kehidupan yang sehat dengan Allah ditandai memelihara suatu keseimbangan antara mendengarkan dengan penuh perhatian serta perkataan yang tulus. Demikian pula dengan ibadah. Inilah sebabnya kata-kata kita penting di dalam ibadah: Kata-kata itu dipakai oleh Allah untuk berkata-kata kepada kita, dan kata-kata itu juga membawa pujian dan doa kita kepada Allah.
3. Ibadah Kristen haruslah kovenantal (berlandaskan ikatan perjanjian Allah). Dalam ibadah, ikatan perjanjian Allah yang baru serta penuh kasih di dalam Kristus diperbarui, diteguhkan dan dimeteraikan. Hubungan yang menyatakan bahwa Allah mengundang kita ke dalamnya ini bukanlah hubungan kontrak kerja dengan serentetan tuntutan kewajiban tetapi hubungan kovenantal atau hubungan yang dilandasi oleh perjanjian Allah dengan kasih-yang-memberi-diri sebagai karakteristiknya. Hal ini lebih mirip ikatan pernikahan ketimbang suatu kontrak legal. Ibadah haruslah mempertimbangkan perjanjian Allah bagi kita dan mengizinkan kita untuk mengambil komitmen untuk kembali berada di dalam jalinan kovenantal ini. Satu pertanyaan yang harus diajukan dalam ibadah apa pun, yaitu apakah ibadah itu telah memampukan kita untuk berbicara kepada Allah sebagai mitra kovenan yang setia dan penuh komitmen!
4. Ibadah Kristen haruslah Trinitaris. Di dalam ibadah kita berjumpa serta menyapa Allah—Bapa, Putra dan Roh Kudus—satu Allah di dalam tiga pribadi, yang empunya kekudusan, kasih, keindahan dan kekuasaan. Allah itulah yang mengundang kita dengan penuh kasih dan kemudian mendengarkan respons kita. Allah itu pulalah yang menyempurnakan dan mengantarkan pujian serta permohonan kita. Allah itu pula yang menolong kita memahami apa yang kita dengar dan mendesak kita untuk bergegas berespons. Maka, di dalam ibadah kita ditarik ke dalam hubungan mesra bersama Allah (Sang Bapa) melalui Allah (Sang Putra) dan oleh Allah (Sang Roh Kudus). Ibadah adalah arena yang di dalamnya Allah Trinitas aktif dalam menarik kita lebih dekat lagi, memelihara iman kita dan menantang kita untuk hidup dalam kepatuhan dan kesetiaan. Dalam ibadah kita memusatkan perhatian kita kepada Allah yang memberi diri-Nya sendiri. Fokus yang berpusatkan Allah ini juga menghindarkan kita dari pencobaan untuk “menyembah” ibadah itu sendiri.
5. Ibadah Kristen haruslah komunal. Injil Kristus menarik kita ke dalam hidup di dalam komunitas dengan orang lain. Ibadah ialah satu latar yang di dalamnya kita melihat gereja dalam tindakan serta kita berusaha untuk mewujudnyatakan dan memperdalam kesatuan, kekudusan dan kesaksian gereja. Ibadah adalah aktivitas orang pertama jamak. Adalah sangat penting bahwa di dalam ibadah kita menyaksikan meski beragam orang, kita mempersembahkan pujian bersama, berdoa bersama, mendengarkan bersama, dan mengikat janji bersama pula.
6. Ibadah Kristen haruslah ramah dan kekeluargaan. Ibadah Kristen tidak boleh berpusat pada diri sendiri. Dalam ibadah, kita mendoakan dunia dan menawarkan keramahtamahan bagi semua orang yang tinggal dalam ketakutan, keputusasaan dan kesepian. Ibadah publik mengutus kita untuk memiliki pola hidup yang penuh penyembahan: dalam pelayanan dan kesaksian. Ibadah tidak sekadar membuat kita nyaman dengan janji-janji Injil tetapi juga mengusik kita (sungguh!) untuk tetap menyadari arti penting dari ketakutan dan kehancuran di dalam dunia dan kebutuhan mendesak dari dunia kita akan seorang Juruselamat. Ibadah memenuhkan ucapan syukur di hati kita yang kemudian secara natural menuntun kita kepada pelayanan bagi dunia kita yang telah porak-poranda.
7. Ibadah Kristen haruslah “di dalam, tetapi bukan dari, dunia.” Ibadah Kristen selalu mencerminkan budaya setempat. Pola berbahasa, gaya berpakaian, waktu, ritme dan harmoni musik serta gaya simbol-simbol visual sangat berbeda sesuai dengan konteks budaya masing-masing. Pada saat yang sama, ibadah jangan sampai diperbudak oleh kebudayaan. Ibadah harus tetap menyerukan suara kenabian, menantang tiap-tiap dimensi dalam budaya yang ganjil dengan Injil Kristus.
8. Ibadah Kristen haruslah suatu pencurahan diri yang tulus di hadapan Allah. Ibadah tidak boleh pura-pura. Bagai minyak wangi yang mengurapi kaki Yesus, ibadah kita haruslah merupakan pencurahan kasih dan pujian yang melimpah-limpah kepada Allah yang telah menciptakan dan menebus kita. Ibadah menuntut persembahan kita yang terbaik. Ketika kita berlatih musik, mempersiapkan kata-kata untuk bicara, menyisihkan uang dan waktu untuk dipersembahkan, dan memastikan bahwa kita disegarkan, serta siap untuk memberikan hati dan perhatian yang tak terbagi, kita sedang memraktikkan karakter luhur yang layak dipersembahkan kepada Allah kita yang agung dan penuh kasih.
TERPUJILAH ALLAH!